Jumat, 27 Januari 2012

Jangan Marah, Engkau Dapatkan Surga


Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Karena dengan bersyukur, Allah akan tambahkan nikmat-Nya kepada kita. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu” QS. Ibrahim : 7. Betapa banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita sehingga kita tidak akan pernah bisa menghitungnya. “ Dan jika kamu menghitung - hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak  dapat menentukan jumlahnya ” QS. An Nahl : 18
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, keluarga beliau, sahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Serta semoga limpahan rahmat dan ampunan Allah senantiasa tercurah kepada seluruh kaum muslimin.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya seorang laki – laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam : ‘Berilah aku wasiat’ Maka beliau menjawab : ‘Jangan Marah.’ Lalu dia mengulangi terus permintaannya beberapa kali, beliau menyatakan : ‘Jangan Marah.’ Shahih, HR. Bukhari
Dalam riwayat yang lain dari Jariyah bin Qudamah radhiallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki berkata : ‘Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepadaku suatu pernyataan dan ringkaskanlah sehingga aku dapat memahaminya.’ Maka Beliau berkata : ‘Jangan Marah.’ Lalu orang tersebut mengulangi (permintaannya) beberapa kali semuanya beliau jawab dengan ‘Jangan Marah.’ Shahih, HR. Ahmad
Sedangkan dalam jalur periwayatan yang lain, dari Humaid bin Abdurrahman, dari seorang laki-laki sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, ia berkata : “Seorang laki - laki berkata : ‘Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat.’ Maka beliau berkata : ‘Jangan Marah.’ Ia berkata : ‘Lalu aku berfikir ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menyampaikan wasiatnya tersebut. Ternyata kemarahan mengumpulkan seluruh kejelekan.’” Shahih, HR. Ahmad
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah radhiyallahu 'anhu. Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam syarah Arbain an-Nawawi :
“Sabda beliau “Jangan Marah”. Artinya, jangan luapkan amarahmu. Larangan tersebut bukan merujuk pada kemarahan itu sendiri, karena (marah) itu merupakan tabiat manusia, dan manusia tidak akan sanggup mengenyahkannya. Luqman ‘alaihis salam berkata kepada anaknya, “Jika kamu hendak menjadikan seseorang sebagai saudara, maka buatlah ia marah. Jika ia berlaku adil kepadamu pada saat marah (maka jadikanlah saudara), dan jika tidak, maka hati – hatilah terhadapnya”. “
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata dalam syarah Arbain an-Nawawi :
Orang ini menyangka bahwa ini adalah pesan yang bersifat parsial, sedangkan ia ingin agar Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam berpesan kepadanya dengan ucapan yang berifat universal. Karena itu, ia mengulanginya. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam mengulangi ucapan yang sama, maka ia tahu bahwa ini adalah ucapan jami’ (ringkas tapi padat maknanya), dan kenyataannya demikian. Sebab sabdanya “Jangan Marah” berisi dua perkara penting :
Pertama, perintah supaya melakukan berbagai upaya, dan senantiasa berakhlak mulia, santun dan sabar, serta menyiapkan dirinya menghadapi perilaku yang biasa dilakukan manusia berupa ucapan dan perbuatan yang menyakitkan. Jika hamba secara kebetulan menghadapinya dan datang kepadanya suatu yang membuatnya marah, maka ia tabah menghadapinya dengan akhlaknya yang baik, menghadapinya dengan kesantunan dan kesabarannya, serta pengetahuannya akan berbagai akibat baiknya. Karena memerintahkan kepada sesuatu adalah perintah kepadanya, dan kepada apa yang tidak sempurna kecuali dengannya. Larangan terhadap sesuatu adalah perintah kepada kebalikannya, dan perintah melakukan berbagai upaya yang membantu hamba menjauhi larangan tersebut. Dan ini termasuk bagian darinya.
Kedua, perintah –sesudah marah- agar tidak meluapkan kemarahannya. Karena kemarahannya, pada umumnya, manusia tidak dapat menolaknya, tetapi mampu untuk tidak meluapkannya. Oleh karena itu, ketika marah, hendaklah ia mencegah dirinya dari ucapan-ucapan dan perbuatan yang diharamkan yang ditutut oleh kemarahan.
Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.  
Definisi Marah
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk  menolak gangguan yang dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya. Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh, mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i, atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan manusia.” Fat-hul Bari, X/520
Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah karena marah mengikuti emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada kehancuran dan kebinasaan.
Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah adalah pintu segala kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah, “Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.
Keutamaan Menahan Amarah
1.     Orang yang kuat adalah yang sanggup menahan amarahnya
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallalahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : “Bukanlah orang yang kuat itu adalah orang yang pandai bergulat, tapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan nafsunya ketika ia marah.” Shahih, HR. Bukhari. Dalam riwayat Muslim disebutkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : “Orang yang paling kuat bukanlah orang yang tidak dapat dikalahkan oleh orang lain. Tetapi orang yang paling kuat adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika ia sedang marah.
2.     Akan Masuk Surga
Dari Abu ad-Darda radhiallahu ‘anhu, dia berkata, ‘Seorang laki – laki berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, “Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam surga.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menjawab, “Jangan marah, maka kamu dapatkan surga.”’ Shahih Lighairihi, HR. ath-Thabrani dengan dua sanad, salah satunya shahih.
3.     Pahala yang besar di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak ada seteguk minuman yang lebih besar pahalanya di sisi Allah daripada seteguk minum kemarahan yang ditahan seorang hamba karena mencari wajah Allah.” Shahih Lighairihi, HR. Ibnu Majah
4.     Mendapatkan bidadari surga
Dari Mu’adz bin Anas radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallalahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa yang menahan kemarahannya padahal ia mampu untuk menumpahkannya, niscaya Allah memanggilnya di hadapan seluruh makhluk di Hari Kiamat sehingga Dia (Allah) menyuruhnya untuk memilih dari bidadari surga yang dikehendakinya.” Hasan Lighairihi, HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah
Cara Meredakan Kemarahan
Syaikh Wahid Abdus Salam Bali Hafizhahullah mengatakan :
Jika Manusia marah, maka ia harus menenangkan kemarahannya, dan meredakan luapannya dengan beberapa hal :
Pertama, ia berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.
Dari Sulaiman bin Shurad radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Dua orang laki - laki saling mencaci maki di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, lalu salah satu dari keduanya marah, wajahnya memerah serta otot lehernya menonjol, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam memandangnya seraya bersabda, ‘Aku mengetahui suatu kalimat seandainya seseorang mengucapkannya, niscaya hilang darinya apa yang didapatinya (kemarahannya), yaitu : “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk (a’uudzubillahi minasy syaithoonirrojiim)”.” Shahih, HR. Bukhari dan Muslim
Kedua, ia mengingat pahala menahan amarah, dan pahalanya besar, lalu ia menahan amarahnya karena menginginkan pahala yang ada di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 
Ketiga, ia diam. Karena ia paling dekat kepada kesalahan dalam keadaan ini. Jadi, diam itu lebih selamat.
Dari Ibnu Amru radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam telah bersabda, “Siapa yang diam, maka ia selamat.” Shahih, HR. Tirmidzi
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” Shahih, HR. Bukhari dan Muslim. Sedangkan Ahmad meriwayatkan dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma secara marfu’, “Jika salah seorang dari kalian marah, maka diamlah.”
Keempat, duduk atau tidur.
Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam mengatakan kepada kami, ‘Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah, jika kemarahan hilang darinya (maka itu baik), dan jika tidak, maka tidurlah’.” Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud
Kelima, merenungkan mengenai tampangnya yang buruk ketika marah, karena ini salah satu hal yang dapat meredamkan amarahnya. Adapun hadits wudhu ketika marah, maka tidak ada satu pun yang shahih sepanjang yang saya ketahui.
Keenam, mengingat pahala memaafkan di sisi Allah, lalu hal itu mendorongnya untuk tabah menghadapi kebodohan orang yang bodoh dan kedunguan orang yang dungu, karena mengharapkan keridhaan Allah dan pahala besar yang ada di sisiNya.
Ketujuh, menjauhkan dirinya dari mencaci maki, menuduh dan mengutuk, karena itu termasuk sifat - sifat orang yang dungu
Sebagaimana diriwayatkan dari Salman bahwa ia mengatakan, ketika seseorang mencacinya, “Jika timbangan (kebaikan)ku ringan, maka aku lebih buruk daripada apa yang kamu katakana. Sebaliknya, jika timbangan (kebaikan)ku berat, maka tidak merugikanku apa yang kamu katakan. ”
Diriwayatkan dari al-Ahnaf bin Qais bahwa ia mengatakan, “Tidak seorangpun memusuhiku melainkan aku mengambil, berkenaan dengan urusannya, salah satu dari tiga hal : Jika ia lebih tinggi dariku, maka aku mengetahui nilainya. Jika ia dibawahku, maka nilaiku lebih tinggi darinya. Jika ia setara denganku, aku lebih unggul darinya.” (Wiqayah al-Insan, hal. 171 dengan diringkas)
Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya, khususnya bagi penulis pribadi dan seluruh kaum muslimin pada umumnya. Senantiasa kami mencoba mengikhlaskan niat hanya untuk mengharap ridho Allah Azza Wa Jalla semata. Wallahu a’lam. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin.

Maraji’ :
-      Shahih Bukhari
-      Shahih Muslim
-      Syarah Arbain An-Nawawi oleh Al Imam An-Nawawi rahimahullah
-      Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
-      Tulisan Al Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahulllah
-      dll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar