Alhamdulillah,
kita bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat yang telah Allah berikan
kepada kita. Karena dengan bersyukur, Allah akan tambahkan nikmat-Nya kepada
kita. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu” QS. Ibrahim : 7. Betapa banyak
nikmat yang Allah berikan kepada kita sehingga kita tidak akan pernah bisa
menghitungnya. “ Dan jika kamu menghitung
- hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak
dapat menentukan jumlahnya ” QS. An Nahl : 18
Shalawat dan salam semoga
tercurah kepada Nabi kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, keluarga beliau, sahabat beliau dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Serta semoga limpahan rahmat dan
ampunan Allah senantiasa tercurah kepada seluruh kaum muslimin.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya seorang
laki – laki berkata kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam : ‘Berilah aku wasiat’ Maka beliau menjawab : ‘Jangan
Marah.’ Lalu dia mengulangi terus permintaannya beberapa kali, beliau
menyatakan : ‘Jangan Marah.’ Shahih, HR. Bukhari
Dalam riwayat yang lain dari Jariyah bin Qudamah radhiallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki berkata : ‘Wahai
Rasulullah, sampaikanlah kepadaku suatu pernyataan dan ringkaskanlah sehingga
aku dapat memahaminya.’ Maka Beliau berkata : ‘Jangan Marah.’ Lalu orang
tersebut mengulangi (permintaannya) beberapa kali semuanya beliau jawab dengan
‘Jangan Marah.’ Shahih, HR. Ahmad
Sedangkan dalam jalur
periwayatan yang lain, dari Humaid bin Abdurrahman, dari seorang laki-laki
sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa
Sallam, ia berkata : “Seorang laki - laki berkata : ‘Wahai Rasulullah,
berilah aku wasiat.’ Maka beliau berkata : ‘Jangan Marah.’ Ia berkata
: ‘Lalu aku berfikir ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam menyampaikan wasiatnya tersebut. Ternyata kemarahan
mengumpulkan seluruh kejelekan.’” Shahih, HR. Ahmad
Sahabat yang meminta
wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah radhiyallahu 'anhu. Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah
wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar
ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia
tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang
Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah
pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala
kebaikan.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam syarah Arbain
an-Nawawi :
“Sabda beliau “Jangan Marah”. Artinya,
jangan luapkan amarahmu. Larangan tersebut bukan merujuk pada kemarahan itu
sendiri, karena (marah) itu merupakan tabiat manusia, dan manusia tidak akan
sanggup mengenyahkannya. Luqman ‘alaihis
salam berkata kepada anaknya, “Jika
kamu hendak menjadikan seseorang sebagai saudara, maka buatlah ia marah. Jika
ia berlaku adil kepadamu pada saat marah (maka jadikanlah saudara), dan jika
tidak, maka hati – hatilah terhadapnya”. “
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata dalam syarah Arbain
an-Nawawi :
Orang ini menyangka bahwa ini adalah pesan yang bersifat parsial,
sedangkan ia ingin agar Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam berpesan kepadanya dengan ucapan yang berifat universal.
Karena itu, ia mengulanginya. Ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam mengulangi ucapan yang sama, maka ia tahu bahwa ini
adalah ucapan jami’ (ringkas tapi
padat maknanya), dan kenyataannya demikian. Sebab sabdanya “Jangan
Marah” berisi dua perkara penting :
Pertama,
perintah supaya melakukan berbagai upaya, dan senantiasa berakhlak mulia,
santun dan sabar, serta menyiapkan dirinya menghadapi perilaku yang biasa
dilakukan manusia berupa ucapan dan perbuatan yang menyakitkan. Jika hamba
secara kebetulan menghadapinya dan datang kepadanya suatu yang membuatnya
marah, maka ia tabah menghadapinya dengan akhlaknya yang baik, menghadapinya
dengan kesantunan dan kesabarannya, serta pengetahuannya akan berbagai akibat
baiknya. Karena memerintahkan kepada sesuatu adalah perintah kepadanya, dan
kepada apa yang tidak sempurna kecuali dengannya. Larangan terhadap sesuatu
adalah perintah kepada kebalikannya, dan perintah melakukan berbagai upaya yang
membantu hamba menjauhi larangan tersebut. Dan ini termasuk bagian darinya.
Kedua, perintah –sesudah marah- agar tidak meluapkan
kemarahannya. Karena kemarahannya, pada umumnya, manusia tidak dapat
menolaknya, tetapi mampu untuk tidak meluapkannya. Oleh karena itu, ketika
marah, hendaklah ia mencegah dirinya dari ucapan-ucapan dan perbuatan yang
diharamkan yang ditutut oleh kemarahan.
Marah adalah bara
yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya
membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan
tindakannya tidak masuk akal.
Definisi Marah
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang dikhawatirkan terjadi
atau karena ingin balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang
terjadi padanya. Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan
seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan
mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh, mencaci maki,
berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan, bahkan sampai
membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang
terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh
dipertahankan menurut syar’i, atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat
marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa hilang
dari perilaku kebiasaan manusia.” Fat-hul Bari, X/520
Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah
karena marah mengikuti emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada
kehancuran dan kebinasaan.
Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah adalah pintu segala kejelekan.”
Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah,
“Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab,
“Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq rahimahullah
menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.
Keutamaan Menahan Amarah
1. Orang
yang kuat adalah yang sanggup menahan amarahnya
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallalahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : “Bukanlah orang yang kuat itu adalah orang yang pandai bergulat, tapi orang yang kuat adalah orang yang
dapat menahan nafsunya ketika ia marah.” Shahih, HR. Bukhari. Dalam riwayat Muslim disebutkan dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam
bersabda : “Orang yang paling kuat bukanlah
orang yang tidak dapat dikalahkan oleh orang lain. Tetapi orang yang paling kuat adalah orang yang dapat menguasai
dirinya ketika ia sedang marah.”
2. Akan
Masuk Surga
Dari Abu ad-Darda radhiallahu ‘anhu, dia berkata, ‘Seorang laki – laki berkata kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam,
“Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam surga.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam
menjawab, “Jangan marah, maka kamu dapatkan surga.”’ Shahih Lighairihi,
HR. ath-Thabrani dengan dua sanad, salah satunya shahih.
3.
Pahala yang besar di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Dari Ibnu Umar radhiallahu
‘anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak ada seteguk minuman yang lebih besar
pahalanya di sisi Allah daripada seteguk minum kemarahan yang ditahan seorang
hamba karena mencari wajah Allah.” Shahih Lighairihi, HR. Ibnu Majah
4. Mendapatkan
bidadari surga
Dari Mu’adz bin Anas radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallalahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa yang menahan kemarahannya
padahal ia mampu untuk menumpahkannya, niscaya Allah memanggilnya di hadapan
seluruh makhluk di Hari Kiamat sehingga Dia (Allah) menyuruhnya untuk memilih
dari bidadari surga yang dikehendakinya.” Hasan Lighairihi, HR. Abu
Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah
Cara Meredakan Kemarahan
Syaikh Wahid Abdus Salam Bali Hafizhahullah mengatakan :
Jika Manusia marah, maka ia harus menenangkan
kemarahannya, dan meredakan luapannya dengan beberapa hal :
Pertama, ia
berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.
Dari Sulaiman bin Shurad radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Dua orang laki - laki saling
mencaci maki di hadapan Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam, lalu salah satu dari keduanya marah, wajahnya memerah
serta otot lehernya menonjol, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam memandangnya seraya bersabda, ‘Aku mengetahui suatu kalimat seandainya seseorang mengucapkannya,
niscaya hilang darinya apa yang didapatinya (kemarahannya), yaitu : “Aku
berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk (a’uudzubillahi minasy
syaithoonirrojiim)”.” Shahih, HR. Bukhari dan Muslim
Kedua, ia
mengingat pahala menahan amarah, dan pahalanya besar, lalu ia menahan amarahnya
karena menginginkan pahala yang ada di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ketiga, ia
diam. Karena ia paling dekat kepada kesalahan dalam keadaan ini. Jadi, diam itu
lebih selamat.
Dari Ibnu Amru radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam telah bersabda, “Siapa yang diam, maka ia selamat.” Shahih, HR. Tirmidzi
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah
ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” Shahih, HR. Bukhari dan Muslim.
Sedangkan Ahmad meriwayatkan dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma secara marfu’, “Jika salah seorang dari kalian marah, maka diamlah.”
Keempat, duduk
atau tidur.
Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam mengatakan kepada kami, ‘Jika salah seorang dari kalian marah dalam
keadaan berdiri, maka duduklah, jika kemarahan hilang darinya (maka itu baik),
dan jika tidak, maka tidurlah’.” Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud
Kelima,
merenungkan mengenai tampangnya yang buruk ketika marah, karena ini salah satu
hal yang dapat meredamkan amarahnya. Adapun hadits wudhu ketika marah, maka
tidak ada satu pun yang shahih sepanjang yang saya ketahui.
Keenam,
mengingat pahala memaafkan di sisi Allah, lalu hal itu mendorongnya untuk tabah
menghadapi kebodohan orang yang bodoh dan kedunguan orang yang dungu, karena
mengharapkan keridhaan Allah dan pahala besar yang ada di sisiNya.
Ketujuh, menjauhkan dirinya dari mencaci maki, menuduh
dan mengutuk, karena itu termasuk sifat - sifat orang yang dungu
Sebagaimana diriwayatkan dari Salman bahwa ia
mengatakan, ketika seseorang mencacinya, “Jika timbangan (kebaikan)ku ringan,
maka aku lebih buruk daripada apa yang kamu katakana. Sebaliknya, jika
timbangan (kebaikan)ku berat, maka tidak merugikanku apa yang kamu katakan. ”
Diriwayatkan dari al-Ahnaf bin Qais bahwa ia
mengatakan, “Tidak seorangpun memusuhiku melainkan aku mengambil, berkenaan
dengan urusannya, salah satu dari tiga hal : Jika ia lebih tinggi dariku, maka
aku mengetahui nilainya. Jika ia dibawahku, maka nilaiku lebih tinggi darinya.
Jika ia setara denganku, aku lebih unggul darinya.” (Wiqayah al-Insan, hal. 171
dengan diringkas)
Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya, khususnya
bagi penulis pribadi dan seluruh kaum muslimin pada umumnya. Senantiasa kami
mencoba mengikhlaskan niat hanya untuk mengharap ridho Allah Azza Wa Jalla semata. Wallahu a’lam. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin.
Maraji’
:
-
Shahih Bukhari
-
Shahih Muslim
-
Syarah Arbain An-Nawawi oleh Al Imam An-Nawawi
rahimahullah
-
Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
-
Tulisan Al Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas hafizhahulllah
-
dll