Jumat, 27 Januari 2012

Jangan Marah, Engkau Dapatkan Surga


Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Karena dengan bersyukur, Allah akan tambahkan nikmat-Nya kepada kita. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu” QS. Ibrahim : 7. Betapa banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita sehingga kita tidak akan pernah bisa menghitungnya. “ Dan jika kamu menghitung - hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak  dapat menentukan jumlahnya ” QS. An Nahl : 18
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, keluarga beliau, sahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Serta semoga limpahan rahmat dan ampunan Allah senantiasa tercurah kepada seluruh kaum muslimin.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya seorang laki – laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam : ‘Berilah aku wasiat’ Maka beliau menjawab : ‘Jangan Marah.’ Lalu dia mengulangi terus permintaannya beberapa kali, beliau menyatakan : ‘Jangan Marah.’ Shahih, HR. Bukhari
Dalam riwayat yang lain dari Jariyah bin Qudamah radhiallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki berkata : ‘Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepadaku suatu pernyataan dan ringkaskanlah sehingga aku dapat memahaminya.’ Maka Beliau berkata : ‘Jangan Marah.’ Lalu orang tersebut mengulangi (permintaannya) beberapa kali semuanya beliau jawab dengan ‘Jangan Marah.’ Shahih, HR. Ahmad
Sedangkan dalam jalur periwayatan yang lain, dari Humaid bin Abdurrahman, dari seorang laki-laki sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, ia berkata : “Seorang laki - laki berkata : ‘Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat.’ Maka beliau berkata : ‘Jangan Marah.’ Ia berkata : ‘Lalu aku berfikir ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menyampaikan wasiatnya tersebut. Ternyata kemarahan mengumpulkan seluruh kejelekan.’” Shahih, HR. Ahmad
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah radhiyallahu 'anhu. Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam syarah Arbain an-Nawawi :
“Sabda beliau “Jangan Marah”. Artinya, jangan luapkan amarahmu. Larangan tersebut bukan merujuk pada kemarahan itu sendiri, karena (marah) itu merupakan tabiat manusia, dan manusia tidak akan sanggup mengenyahkannya. Luqman ‘alaihis salam berkata kepada anaknya, “Jika kamu hendak menjadikan seseorang sebagai saudara, maka buatlah ia marah. Jika ia berlaku adil kepadamu pada saat marah (maka jadikanlah saudara), dan jika tidak, maka hati – hatilah terhadapnya”. “
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata dalam syarah Arbain an-Nawawi :
Orang ini menyangka bahwa ini adalah pesan yang bersifat parsial, sedangkan ia ingin agar Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam berpesan kepadanya dengan ucapan yang berifat universal. Karena itu, ia mengulanginya. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam mengulangi ucapan yang sama, maka ia tahu bahwa ini adalah ucapan jami’ (ringkas tapi padat maknanya), dan kenyataannya demikian. Sebab sabdanya “Jangan Marah” berisi dua perkara penting :
Pertama, perintah supaya melakukan berbagai upaya, dan senantiasa berakhlak mulia, santun dan sabar, serta menyiapkan dirinya menghadapi perilaku yang biasa dilakukan manusia berupa ucapan dan perbuatan yang menyakitkan. Jika hamba secara kebetulan menghadapinya dan datang kepadanya suatu yang membuatnya marah, maka ia tabah menghadapinya dengan akhlaknya yang baik, menghadapinya dengan kesantunan dan kesabarannya, serta pengetahuannya akan berbagai akibat baiknya. Karena memerintahkan kepada sesuatu adalah perintah kepadanya, dan kepada apa yang tidak sempurna kecuali dengannya. Larangan terhadap sesuatu adalah perintah kepada kebalikannya, dan perintah melakukan berbagai upaya yang membantu hamba menjauhi larangan tersebut. Dan ini termasuk bagian darinya.
Kedua, perintah –sesudah marah- agar tidak meluapkan kemarahannya. Karena kemarahannya, pada umumnya, manusia tidak dapat menolaknya, tetapi mampu untuk tidak meluapkannya. Oleh karena itu, ketika marah, hendaklah ia mencegah dirinya dari ucapan-ucapan dan perbuatan yang diharamkan yang ditutut oleh kemarahan.
Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.  
Definisi Marah
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk  menolak gangguan yang dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya. Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh, mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i, atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa hilang dari perilaku kebiasaan manusia.” Fat-hul Bari, X/520
Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah karena marah mengikuti emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada kehancuran dan kebinasaan.
Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah adalah pintu segala kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah, “Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan meninggalkan amarah.
Keutamaan Menahan Amarah
1.     Orang yang kuat adalah yang sanggup menahan amarahnya
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallalahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : “Bukanlah orang yang kuat itu adalah orang yang pandai bergulat, tapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan nafsunya ketika ia marah.” Shahih, HR. Bukhari. Dalam riwayat Muslim disebutkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : “Orang yang paling kuat bukanlah orang yang tidak dapat dikalahkan oleh orang lain. Tetapi orang yang paling kuat adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika ia sedang marah.
2.     Akan Masuk Surga
Dari Abu ad-Darda radhiallahu ‘anhu, dia berkata, ‘Seorang laki – laki berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, “Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam surga.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menjawab, “Jangan marah, maka kamu dapatkan surga.”’ Shahih Lighairihi, HR. ath-Thabrani dengan dua sanad, salah satunya shahih.
3.     Pahala yang besar di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak ada seteguk minuman yang lebih besar pahalanya di sisi Allah daripada seteguk minum kemarahan yang ditahan seorang hamba karena mencari wajah Allah.” Shahih Lighairihi, HR. Ibnu Majah
4.     Mendapatkan bidadari surga
Dari Mu’adz bin Anas radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallalahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa yang menahan kemarahannya padahal ia mampu untuk menumpahkannya, niscaya Allah memanggilnya di hadapan seluruh makhluk di Hari Kiamat sehingga Dia (Allah) menyuruhnya untuk memilih dari bidadari surga yang dikehendakinya.” Hasan Lighairihi, HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah
Cara Meredakan Kemarahan
Syaikh Wahid Abdus Salam Bali Hafizhahullah mengatakan :
Jika Manusia marah, maka ia harus menenangkan kemarahannya, dan meredakan luapannya dengan beberapa hal :
Pertama, ia berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.
Dari Sulaiman bin Shurad radhiallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Dua orang laki - laki saling mencaci maki di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, lalu salah satu dari keduanya marah, wajahnya memerah serta otot lehernya menonjol, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam memandangnya seraya bersabda, ‘Aku mengetahui suatu kalimat seandainya seseorang mengucapkannya, niscaya hilang darinya apa yang didapatinya (kemarahannya), yaitu : “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk (a’uudzubillahi minasy syaithoonirrojiim)”.” Shahih, HR. Bukhari dan Muslim
Kedua, ia mengingat pahala menahan amarah, dan pahalanya besar, lalu ia menahan amarahnya karena menginginkan pahala yang ada di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 
Ketiga, ia diam. Karena ia paling dekat kepada kesalahan dalam keadaan ini. Jadi, diam itu lebih selamat.
Dari Ibnu Amru radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam telah bersabda, “Siapa yang diam, maka ia selamat.” Shahih, HR. Tirmidzi
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” Shahih, HR. Bukhari dan Muslim. Sedangkan Ahmad meriwayatkan dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma secara marfu’, “Jika salah seorang dari kalian marah, maka diamlah.”
Keempat, duduk atau tidur.
Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam mengatakan kepada kami, ‘Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah, jika kemarahan hilang darinya (maka itu baik), dan jika tidak, maka tidurlah’.” Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud
Kelima, merenungkan mengenai tampangnya yang buruk ketika marah, karena ini salah satu hal yang dapat meredamkan amarahnya. Adapun hadits wudhu ketika marah, maka tidak ada satu pun yang shahih sepanjang yang saya ketahui.
Keenam, mengingat pahala memaafkan di sisi Allah, lalu hal itu mendorongnya untuk tabah menghadapi kebodohan orang yang bodoh dan kedunguan orang yang dungu, karena mengharapkan keridhaan Allah dan pahala besar yang ada di sisiNya.
Ketujuh, menjauhkan dirinya dari mencaci maki, menuduh dan mengutuk, karena itu termasuk sifat - sifat orang yang dungu
Sebagaimana diriwayatkan dari Salman bahwa ia mengatakan, ketika seseorang mencacinya, “Jika timbangan (kebaikan)ku ringan, maka aku lebih buruk daripada apa yang kamu katakana. Sebaliknya, jika timbangan (kebaikan)ku berat, maka tidak merugikanku apa yang kamu katakan. ”
Diriwayatkan dari al-Ahnaf bin Qais bahwa ia mengatakan, “Tidak seorangpun memusuhiku melainkan aku mengambil, berkenaan dengan urusannya, salah satu dari tiga hal : Jika ia lebih tinggi dariku, maka aku mengetahui nilainya. Jika ia dibawahku, maka nilaiku lebih tinggi darinya. Jika ia setara denganku, aku lebih unggul darinya.” (Wiqayah al-Insan, hal. 171 dengan diringkas)
Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya, khususnya bagi penulis pribadi dan seluruh kaum muslimin pada umumnya. Senantiasa kami mencoba mengikhlaskan niat hanya untuk mengharap ridho Allah Azza Wa Jalla semata. Wallahu a’lam. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin.

Maraji’ :
-      Shahih Bukhari
-      Shahih Muslim
-      Syarah Arbain An-Nawawi oleh Al Imam An-Nawawi rahimahullah
-      Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
-      Tulisan Al Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahulllah
-      dll

Jumat, 20 Januari 2012

Meraih Kemulyaan Dengan Berbakti Kepada Kedua Orang Tua


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Tabaroka Wa Ta’ala. Allah Robbul ‘Alamin. Robbul ‘Arsyil ‘Adzim. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, keluarga beliau, sahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Serta semoga limpahan rahmat dan ampunan Allah senantiasa tercurah kepada seluruh kaum muslimin.
Saudaraku -pembaca yang dirahmati Allah- sering kita mendengar kabar / berita di stasiun TV ada seorang anak yang berani memukul Bapak/Ibunya, bahkan ada yang tega membunuhnya. Inikah balasan dari seorang anak kepada Bapaknya ? Bapak yang senantiasa keringatnya bercucuran, tubuhnya terpanggang oleh sengatan matahari hanya untuk mencari sesuap nasi bagi anak dan istrinya. Atau inikah balasan dari seorang anak kepada Ibunya ? Ibu yang telah mengandung selama 9 bulan, yang bertaruh nyawa ketika melahirkan kita. Melahirkan seorang anak yang ternyata setelah dewasa justru mendurhakainya. Sahabat Abdullah Ibnu Umar radhiallahu’anhuma pernah melihat seorang pemuda dari Yaman yang menggendong Ibunya untuk Thawaf (keliling Ka’bah). Kemudian pemuda itu bertanya kepada Ibnu Umar : “Wahai Ibnu Umar, apakah engkau melihat aku telah membalasnya (membalas kebaikan ibunya dengan menggendongnya keliling Ka’bah) ?”, Ibnu Umar menjawab : “Belum. bahkan tidak sebanding dengan (satu) tarikan nafasnya disaat melahirkan (mu)”. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Wajib berbuat baik kepada kedua orang tua
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang Ibu Bapak…,” QS. An Nisa’ : 36. Dalam ayat ini (berbuat baik kepada Ibu Bapak) merupakan perintah, dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan meng-Esa-kan (tidak mempersekutukan) Allah, serta tidak didapatinya perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini. (Al Adaabusy Syar’iyyah 1/434)
Allah Tabaroka Wa Ta’ala juga berfirman : “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada Ibu Bapakmu dengan sebaik-baiknya” QS. Al Israa’ : 23. Adapun makna ( qodho ) = Berkata Ibnu Katsir rahimahullah : yakni, mewasiatkan. Berkata Al Qurthubiy rahimahullah : yakni, memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Berkata Asy Syaukaniy rahimahullah : "Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orang tua seiring dengan perintah untuk mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, ini pemberitahuan tentang betapa besar haq mereka berdua, sedangkan membantu urusan-urusan (pekerjaan) mereka, maka ini adalah perkara yang tidak tersembunyi lagi (perintahnya). (Fathul Qodiir 3/218)
Kemudian firman-Nya dalam surat Luqman ayat 14 : “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu - Bapaknya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” Berkata Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma "Tiga ayat dalam Al Qur’an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : "Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu", Berkata beliau. "Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu." (Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40).
Berkaitan dengan ini, Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam bersabda (artinya) : "Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua" (Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/ 346), Hadits ini Shahih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516.
Dan haram hukumnya durhaka kepada orang tua, berdasarkan sabda Rasulullah dari  Al Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi Wa Sallam beliau bersabda : "Sesungguhnya Allah  mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup - hidup anak perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta - minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan membuang-buang harta". (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1757).
Keutamaan Birrul Walidain
Pertama : Termasuk Amalan Yang Paling Mulia
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu dia berkata :
Saya bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Sallam: “Amalan apa yang paling dicintai Allah ?”, Beliau menjawab : "Sholat tepat pada waktunya", Saya bertanya : “Kemudian apa lagi ?”, Beliau menjawab "Berbakti kepada kedua orang tua". Lalu saya bertanya lagi : “Kemudian apa ?”, Beliau menjawab : "Berjihad di jalan Allah". (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Kedua : Merupakan Salah Satu Sebab-Sebab Diampuninya Dosa
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang Ibu Bapaknya….", hingga akhir ayat berikutnya : "Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan - kesalahan mereka, bersama penghuni - penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka." (QS. Al Ahqaf 15 - 16)
Ketiga : Termasuk Sebab Masuknya Seseorang Ke Surga
Dari Mu’awiyah bin Jaahimah radhiallahu’anhuma, bahwasannya Jaahimah datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Sallam kemudian berkata : "Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan sungguh saya dating untuk meminta pendapatmu. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : "Apakah kamu masih memiliki Ibu?". Berkata dia : "Ya". Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Sallam : "Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya". (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya, Hadits ini Shahih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248)
Keempat : Merupakan Sebab keridhoan Allah
Sebagaimana hadits yang terdahulu "Keridhoan Allah ada pada keridhoan kedua orang tua dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan kedua orang tua".
Kelima : Merupakan Sebab Bertambahnya Umur
Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu’anhu, dia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : "Barang siapa yang ingin agar dipanjangkan umurnya dan ditambah rizkinya, maka hendaklah ia berbuat baik kepada kedua orang tuanya dan menjalin hubungan kerabatnya". Diriwayatkan Ahmad, sedangkan para perawinya dijadikan hujjah (sandaran) di dalam ash-shahih.
Keenam : Merupakan Sebab Barokahnya Rizki
Dalilnya, sebagaimana hadits sebelumnya.
Hak - Hak Yang Wajib Dilaksanakan Semasa Orang Tua Masih Hidup
1. Mentaati Mereka Selama Tidak Mendurhakai Allah
Mentaati kedua orang tua hukumnya wajib atas setiap Muslim. Haram hukumnya mendurhakai keduanya. Tidak diperbolehkan sedikit pun mendurhakai mereka berdua kecuali apabila mereka menyuruh untuk menyekutukan Allah atau mendurhakai-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya..." (QS. Luqman: 15). Tidak boleh mentaati makhluk untuk mendurhakai Allah, Penciptanya, sebagaimana sabda Rasululah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam: "Tidak ada ketaatan untuk mendurhakai Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam melakukan kebaikan." (HR. Bukhari no. 4340, 7145, 7257, dan Muslim no. 1840, dari Ali radhiyallahu 'anhu)
2. Berbakti, Berbicara Dengan Lembut dan  Merendahkan Diri di Hadapan Kedua Orang Tua
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua ibu bapaknya..." (QS. Al-Ahqaaf: 15). "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu bapak..." (QS.
An-Nisaa': 36). Perintah berbuat baik ini lebih ditegaskan jika usia kedua orang tua semakin tua dan lanjut hingga kondisi mereka melemah dan sangat membutuhkan bantuan dan perhatian dari anaknya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: "Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kami jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: 'Wahai, Rabb-ku, kasihilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.'" (QS. Al-Israa': 23 - 24)
3. Meminta Izin Kepada Mereka Sebelum Berjihad dan Pergi Untuk Urusan Lainnya
Seorang laki-laki hijrah dari negeri Yaman lalu Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bertanya kepadanya: "Apakah kamu masih mempunyai kerabat di Yaman?" Laki - laki itu menjawab: "Masih, yaitu kedua orang tuaku." Beliau kembali bertanya: "Apakah mereka berdua mengizinkanmu?" Laki-laki itu menjawab: "Tidak." Lantas, Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda: "Kembalilah kamu kepada mereka dan mintalah izin dari mereka. Jika mereka mengizinkanmu, maka kamu boleh ikut berjihad, namun jika tidak, maka berbaktilah kepada keduanya." (HR. Ahmad, III/76; Abu Dawud no. 2530; al-Hakim, II/103, 103, dan ia menshahihkannya serta disetujui oleh Adz-Dzahabi dari Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu. Lihat kitab Shahihh Abu Dawud no. 2207)
4. Memberikan Harta Kepada Orang Tua Menurut Jumlah Yang mereka Inginkan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam pernah bersabda kepada seorang laki - laki ketika ia berkata: "Ayahku ingin mengambil hartaku." Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda: "Kamu dan hartamu milik ayahmu." (HR. Ahmad, II/204, Abu Dawud no. 3530, dan Ibnu Majah no. 2292, dari Ibnu 'Amr radhiyallahu 'anhu. Hadits ini tertera dalam kitab Shahiihul Jaami no. 1486) Oleh sebab itu, hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil dan lemah, serta telah berbuat baik kepadanya.
5. Tidak Mencela Orang Tua atau Tidak Menyebabkan Mereka Dicela Orang Lain
Mencela orang tua dan menyebabkan mereka dicela orang lain termasuk salah satu dosa besar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda: "Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela orang tuanya." Para Sahabat bertanya: "Ya, Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang tuanya?" Beliau menjawab: "Ada. Ia mencela ayah orang lain kemudian orang itu membalas mencela orang tuanya. Ia mencela ibu orang lain lalu orang itu membalas mencela ibunya." (HR. Bukhari no. 5973 dan Muslim no. 90, dari Ibnu 'Amr radhiyallahu 'anhu) Perbuatan ini merupakan perbuatan dosa yang paling buruk. Orang-orang sering bergurau dan bercanda dengan melakukan perbuatan yang sangat tercela ini.
HAK-HAK ORANG TUA SETELAH MEREKA MENINGGAL DUNIA
1. Menshalati Keduanya
Maksud menshalati di sini adalah mendo'akan keduanya. Yakni, setelah keduanya meninggal dunia, karena ini termasuk bakti kepada mereka. Oleh karena itu, seorang anak hendaknya lebih sering mendo'akan kedua orang tuanya setelah mereka meninggal daripada ketika masih hidup. Apabila anak itu mendo'akan keduanya, niscaya kebaikan mereka berdua akan semakin bertambah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam: "Apabila manusia sudah meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo'akan dirinya." (HR. Muslim no. 1631 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
2. Beristighfar Untuk Mereka Berdua
Orang tua adalah orang yang paling utama bagi seorang Muslim untuk dido'akan agar Allah mengampuni mereka karena kebaikan mereka karena kebaikan mereka yang besar. Allah Subhanahu Wa Ta'ala menceritakan kisah Ibrahim Alaihissalam dalam Al-Qur'an: "Ya, Rabb kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku..." (QS. Ibrahim: 41)
3. Menunaikan Janji Kedua Orang Tua
Hendaknya seseorang menunaikan wasiat kedua orang tua dan melanjutkan secara berkesinambungan amalan-amalan kebaikan yang dahulu pernah dilakukan keduanya. Sebab, pahala akan terus mengalir kepada mereka berdua apabila amalan kebaikan yang dulu pernah dilakukan dilanjutkan oleh anak mereka.
4. Menyambung Tali Silaturahim Dengan Kerabat Ibu dan Ayah
Hendaknya seseorang menyambung tali silaturahim dengan semua kerabat yang silsilah keturunannya bersambung dengan ayah dan ibu, seperti paman dari pihak ayah dan ibu, bibi dari pihak ayah dan ibu, kakek, nenek, dan anak-anak mereka semua. Bagi yang melakukannya, berarti ia telah menyambung tali silaturahim kedua orang tuanya dan telah berbakti kepada mereka. Hal ini berdasarkan sabda Beliau Shallallahu 'alaihi Wa Sallam: "Barang siapa ingin menyambung silaturahim ayahnya yang ada di kuburannya, maka sambunglah tali silaturahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal." (HR. Ibnu Hibban no. 433 dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu. Hadits ini tertera dalam kitab Shahiihul Jaami' no. 5960)
Jangan timbulkan kebencian kepada orang tua dalam hati kita
Orang tua adalah manusia biasa, tentunya mereka tak luput dari kesalahan. Jika muncul kebencian dalam hati kita, maka temui mereka ketika sedang tidur. Perhatikan !!!  Bagaimana masa ini telah menggerogoti tubuhnya. Nafasnya yang mulai tersengal, keningnya yang mulai keriput, giginya yang mulai tanggal. Cium tangannya, rasakan bau tubuhnya, mungkin besok daging bangkai yang kita lihat. Wallahi, hapus kebencian dalam hati ini. Jangan sampai kita menyesal jika mereka telah tiada.
Mungkin ini sedikit yang bisa kami tuliskan. Semoga bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin. Dan semoga Allah menjadikannya termasuk ‘amal shalih. Amin. Wallahu a’lam. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin.

 Maraji’ :
-      Ensiklopedi Adab Islam menurut Al Qur’an dan As Sunnah oleh Syaikh Abdul Aziz bin Fathi As Sayyid Nada
-      Riyadhus Shalihin oleh Imam  An-Nawawi rahimahullah
-      Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
-      dll

Jumat, 13 Januari 2012

Sudahkah kita bertaubat kepada Allah


Alhamdulillah. Senantiasa kita bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat yang dikaruniakan kepada kita. Shalawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, penutup para Nabi dan pemimpin para Rasul. Keluarga, sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Setelah di edisi yang lalu kita mencoba mengupas masalah kemaksiatan yang merajalela di kalangan kaum muslimin, maka insya Allah pada edisi kali ini Cermin Qolbu akan mencoba membahas satu masalah yang tidak kalah pentingnya. Yaitu masalah Taubat kepada Allah.
Sebagaimana telah kita sadari bersama bahwa hari-hari yang kita lalui tak pernah luput dari yang namanya Dosa. Mata kita memandang pandangan yang mengandung maksiat. Telinga kita mendengarkan hal-hal yang dilarang oleh Allah. Bibir kita pun basah dengan ghibah (ngrasani).  Sehingga ulama yakni Muhammad bin Waasi’ pernah berkata, “Kalau seandainya dosa itu memiliki bau maka tidak seorangpun dari kalian yang akan duduk denganku.” Ini dikarenakan begitu banyaknya dosa manusia.
Oleh karena itu, merupakan bentuk Rahman RahimNya Allah sehingga kita diperintahkan untuk bertaubat kepadaNya. Mohon ampun atas dosa - dosa yang pernah kita lakukan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang - orang yang beriman supaya kamu beruntung.” QS. An Nur : 31.
Dan juga berfirman : “dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.” QS. Hud : 3.
Serta firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.” QS. At Tahrim : 8.
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, manusia terbaik di muka bumi ini, manusia yang paling bertakwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, beliau bertaubat kepada Allah lebih dari 70 kali dalam sehari.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dari jalan sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu, dia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : “Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.””
Sedangkan di dalam Shahih Muslim dari jalan Al Aqharr Ibnu Yasar Al Muzani radhiallahu’anhu, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : “Hai Manusia taubatlah kepada Allah dan mohonlah ampunanNya, karena sesungguhnya aku bertaubat (kepadaNya) dalam satu hari sebanyak seratus kali.””
Padahal beliau adalah orang yang maksum, yang diampuni dosanya oleh Allah baik yang telah lampau maupun yang akan datang. Sebagaimana hadits Shahih yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu’anha, ia mengatakan : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam terbiasa shalat sehingga kakinya pecah-pecah. Kemudian aku mengatakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan hal ini padahal engkau telah diampuni dosa yang telah lalu dan akan datang.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam mengatakan, ‘Tidakkah engkau menyukai aku menjadi hamba yang bersyukur.’” (HR. Muslim). Ini merupakan contoh yang patut kita tancapkan dalam hati dan kita amalkan. Kalau Rasulullah saja bertaubat memohon ampun kepada Allah lebih dari 70 kali dalam sehari, lantas apa yang membuat kita enggan untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ada sebuah ayat di dalam Al Quran, yang ayat ini merupakan kabar gembira bagi kita semua khususnya bagi sebagian orang yang sudah terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan. Sebagaian besar dari mereka mengatakan : “Dosaku sudah terlalu banyak, tak mungkin di ampuni oleh Allah..” kemudian mereka terus menerus melakukan kemaksiatan hingga akhir hayatnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Az Zumar : 53
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini : “Ayat yang mulia ini merupakan seruan kepada orang-orang yang bermaksiat, baik orang-orang kafir atau lainnya, untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah). Ayat ini juga memberitakan bahwa Allah Tabaraka Wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa semuanya bagi orang-orang yang bertaubat dari dosa-dosa tersebut dan meninggalkannya, walaupun dosa apapun juga, walaupun dosanya sebanyak buih lautan. Dan tidak benar membawa arti pengampunan Allah (dalam ayat ini) dengan tanpa taubat, karena orang yang tidak bertaubat dari syirik tidak akan diampuni oleh Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Az-Zumar: 53)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan di dalam Tafsir beliau, Taisir Karimir Rahman Fii Tafsiri Kalamil Mannan, surat Az-Zumar : 53, sebagai berikut :
"Allah Ta’ala memberitakan tentang keluasan kemurahanNya kepada hamba-hambaNya yang melewati batas, yaitu orang-orang yang banyak melakukan dosa. Dan Dia mendorong mereka untuk kembali (kepadaNya), sebelum hal itu tidak memungkinkan.
(FirmanNya: Katakanlah): wahai Rasul, dan para da’i yang mengajak kepada agama Allah, sampaikanlah berita kepada para hamba dari Rabb mereka.
(FirmanNya: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri): dengan mengikuti dosa-dosa yang diserukan oleh hawa nafsu mereka, dan melakukan perkara-perkara yang menjadikan kemurkaan Allah Yang Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib.
(FirmanNya: janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allah): yaitu janganlah kamu terputus asa darinya sehingga kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan, dan kamu mengatakan: “Dosa-dosa kami telah banyak, keburukan kami telah bertumpuk-tumpuk, tidak ada jalan untuk menghilangkannya, tidak ada jalan untuk membuangnya”. Dengan sebab itu kamu tetap terus-menerus melakukan kemaksiatan, kamu membawa bekal yang dimurkai oleh Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pemurah). Tetapi kenalilah Penguasa kamu lewat nama-namaNya yang menunjukkan kemurahanNya. Dan ketahuilah bahwa (FirmanNya: Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya): yang berupa: syirik, pembunuhan, zina, riba, kezhaliman, dan dosa-dosa lainnya, yang besar dan yang kecil.
(FirmanNya: Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang): yaitu kedua sifatNya, sifat memberi ampun dan sifat rahmat (kasih sayang), merupakan sifat yang tetap ada pada Allah, tidak pernah terlepas dari DzatNya, dan dampak kedua sifat itu terus ada, terjadi di alam ini, memenuhi makhluk.” (Az Zumar : 53)
Allah senang dengan taubat hambaNya
Di dalam Riwayat Muslim disebutkan bahwa Rasulullah bersabda : “Sungguh Allah lebih bergembira dengan taubat seorang hambaNya ketika dia bertaubat kepadaNya, dari pada (kegembiraan) salah seorang kamu yang mengendarai untanya di hamparan tanah luas yang tidak ada air dan tumbuhannya (padang pasir). Tiba-tiba untanya menghilang, padahal makanan dan minumannya ada padanya. Kemudian ia berputus asa untuk bisa menemukannya kembali. Lalu ia mendatangi sebuah pohon dan berbaring di bawah baying-bayangnya. Dia sungguh telah berputus asa dari untanya. Tatkala dia dalam keadaan seperti itu tiba-tiba (pula) ia mendapatkan untanya berdiri dihadapannya. Maka segera ia pegang tali kendalinya. Kemudian dia berkata karena sangat bergembiranya : “Ya Allah Engkau hambaku dan aku adalah Tuhanmu” Dia salah ucap karena terlalu bergembira.”
Dari Abu Musa Abdullah Ibnu Qais Al Asyari radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah Ta’ala membuka tanganNya di malam hari agar bertaubat pelaku dosa di siang hari, dan membuka tanganNya di siang hari agar bertaubat pelaku dosa di malam hari sampai matahari terbit dari tempat terbenamnya” HR. Muslim. Apakah kita tidak mau memanfaatkan kesempatan emas ini? Di mana Allah senantiasa menerima taubat hambaNya sebesar apapun dosanya. Saudaraku kaum muslimin -semoga dirahmati oleh Allah- mari kita bertaubat kepada Allah, kita sesali dosa-dosa kita dan memohon ampun kepadaNya, sebelum nyawa berada di kerongkongan dan sebelum matahari terbit dari tempat terbenamnya. Karena jika hal itu sudah terjadi maka Allah tidak akan menerima taubat kita.
Dari Abu Abdurrahman Abdullah Ibnu Umar Ibnu Al Khaththab radhiallahu’anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama ruh nya belum sampai pada kerongkongan” HR. At Tirmidzi, ia berkata hadits hasan. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, dia berkata : “Rasulullah Shallalahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : “Barang siapa bertaubat sebelum matahari terbit dari tempat tenggelamnya maka Allah menerima taubatnya”” HR. Muslim
Kisah yang menarik mengenai Taubat kepada Allah
Dari Abu Sa’id Sa’d Ibnu Malik Ibnu Sinan Al Khudri radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : “Pada umat sebelum kamu ada seorang laki-laki yang membunuh 99 jiwa. Kemudian ia bertanya tentang orang terpandai di dunia, ia pun ditunjukkan kepada seorang pendeta (ahli ibadah). Dia mendatanginya dan bertanya : “Sesungguhnya dia telah membunuh 99 nyawa, apakah ada taubat untuknya ?” Pendeta menjawab : “Tidak.” Maka ia pun membunuhnya, menggenapkan angka 100 dengannya. Kemudian dia bertanya tentang orang yang paling mengerti di muka bumi ini. Maka ia pun ditunjukkan kepada seorang ‘alim (ahli ilmu). Dia berkata (kepadanya) : “Sesungguhnya dia telah membunuh 100 nyawa, apakah ada taubat untuknya ?” ‘Alim itu menjawab : “Iya, dan memangnya siapa yang menghalangi antara dia dan taubat ? pergilah ke negeri ini dan itu, sesungguhnya disana terdapat orang-orang yang menyembah Allah Ta’ala, menyembahlah kepada Allah bersama mereka. Kamu jangan pulang ke negerimu karena ia adalah negeri yang jelek.” Maka orang tadi berangkat dan tatkala ia sampai pada separuh perjalanan, ia dijemput oleh maut. Maka malaikat Rahmat dan malaikat Adzab bertengkar tentangnya. Malaikat Rahmat berkata : “Dia dating dalam keadaan bertaubat, menghadap dengan sepenuh hatinya kepada Allah Ta’ala.” Sementara malaikat Adzab beragumentasi :”Sesungguhnya dia belum pernah melakukan kebajikan sama sekali.” Maka ada satu malaiakat lain yang mendatangi mereka dalam rupa manusia. Akhirnya mereka menjadikannya sebagai penengah (hakim). Maka dia berkata : “Ukurlah jarak antara 2 negeri ini, kemana ia lebih dekat jaraknya maka ia termasuk miliknya.” Merekapun mengukur, ternyata mereka menemukan bahwa dia lebih dekat dengan kampung yang sedang dituju. Maka malaikat Rahmat lah yang menanganinya.” Muttafaq ‘alaih.

Syarat bertaubat kepada Allah
Al Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Riyadhus Shalihin :
Para ulama berkata : “taubat itu wajib, dari setiap dosa. Apabila maksiat itu antara hamba dan Allah Ta’ala, tidak berhubungan dengan hak manusia maka taubatnya memiliki syarat :
1.        Meninggalkan maksiat (tersebut)
2.        Menyesal atas perbuatan maksiat yang telah dilakukannya
3.        Bertekad untuk tidak kembali (mengulangi) kepada maksiat itu semuanya
Apabila salah satu dari tiga syarat ini tidak terpenuhi maka taubatnya tidak sah. Dan Apabila maksiat itu tadi berhubungan dengan manusia maka syarat taubatnya ada empat yaitu tiga syarat di atas, ditambah dengan satu syarat (yaitu) membebaskan diri dari hak orang lain. Apabila hak itu berupa harta atau sejenisnya maka wajib mengembalikan kepadanya. Apabila berupa tuduhan zina atau sejenisnya maka ia harus memberikan kesempatan kepadanya untuk menghukumnya atau meminta maaf kepadanya ”
Mari sejenak kita pikirkan akan dosa-dosa kita. Mungkin dahulu kita pernah berzina, membunuh, mencuri, berbohong, dan dosa-dosa besar lainnya yang mungkin sekarang kita sudah lupa. Dan kita telah lalai dari bertaubat kepada Allah karena terlalu sibuk dalam urusan dunia. “Ya Allah Ya Rabb, kami bersimpuh di hadapanMu. Memohon ampun atas segala dosa yang pernah kami lakukan. Dosa yang mungkin sudah sepenuh bumi, menumpuk setinggi langit. Tapi kami yakin Engkau Maha Pengampun.”   
Semoga apa yang kami tuliskan ini bermanfaat. Kepada Allah lah kami mengharap ridho dan pahala. Yang haq datangnya dari Allah dan yang salah murni karena kesalahan kami. Saran dan kritik dari saudaraku kaum muslimin -pembaca yang di rahmati Allah- tetap kami harapkan. Wallahu a’lam. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin.

"Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi". QS. Al A’raaf : 23



Maraji’ :
-      Riyadhus Shalihin oleh Imam  Nawawi rahimahullah
-      dll