Jumat, 02 Desember 2011

KEUTAMAAN BULAN MUHARRAM (edisi Jum'at, 2 Desember 2012)

KEUTAMAAN BULAN MUHARRAM
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, penutup para nabi dan pemimpin para rasul. Serta kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.
Sesungguhnya bulan Allah Muharram adalah bulan yang agung lagi penuh berkah. Ia adalah bulan pertama di tahun hijriah dan salah satu bulan haram (yang disucikan). Yang disebut Allah Tabaroka wa Ta’ala dalam firmanNya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” QS. At Taubah 36
Dan juga disebutkan di dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dari jalan sahabat Abu Bakrah radhiallahu‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
zaman (masa) terus berjalan sejak awal penciptaan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan, yaitu Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah dan al-Muharram serta Rajab yang berada antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban

Ibnu Abbas (Abdullah bin ‘Abbas) radhiallahu’anhuma berkata mengenai tafsir ayat di atas (QS. At Taubah 36): "Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu" mulanya pada seluruh bulan, lalu dikhususkan empat bulan saja yang kemudian ditetapkan menjadi bulan haram (bulan suci). (Perbuatan haram pada bulan-bulan itu) keharamannya melebihi bulan yang lain. Pada bulan-bulan itu perbuatan dosa lebih besar dan perbuatan baik pahalanya juga lebih besar.
Qotadah –semoga Allah merahmatinya- berkata dalam tafsir ayat di atas: "Sesungguhnya kedzaliman pada bulan-bulan haram adalah lebih besar kesalahan dan dosanya dibandingkan kedzaliman pada bulan-bulan lainnya. Meskipun kedzaliman dalam setiap keadaan tidak diperkenankan, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan lebih besar suatu perkara sesuai kehendak-Nya. Allah menyeleksi hamba-hamba-Nya, Dia memilih rosul (utusan) dari malaikat dan dari manusia, memilih dzikir dari segala ucapan, memilih masjid dari tempat yang lain, memilih bulan haram (bulan suci) dari bulan-bulan yang lain, memilih hari jum'at dari hari-hari yang lain, memilih lailatul qodar dari malam-malam yang lain. Maka agungkanlah apa-apa yang telah Allah agungkan. Sesungguhnya yang mengagungkan apa yang Allah agungkan hanya ada pada orang-orang yang berfaham dan berakal. Perkataan ini bisa di temui di kitab Tafsir Ibnu Katsir mengenai QS. At Taubah 36.

KEUTAMAAN PUASA DI BULAN MUHARRAM
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.’” (HR. Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin rahimahullah –di kitab Syarah Riyadhus Shalihin- mengatakan puasa sunnah di bulan Muharram adalah bagian dari puasa yang sangat disukai Allah, karena dia adalah paling utama setelah puasa wajib.
SEJARAH PUASA ‘ASYURA
Ada 4 tahapan :
Tahapan pertama : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa ‘Asyura’ di Makkah dan beliau tidak perintahkan yang lain untuk melakukannya. Dalilnya, hadits dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, dia berkata : “Orang-orang Quraisy pada masa jahiliyah melaksanakan puasa hari ‘Asyura’ dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakannya (Puasa ‘Asyura’). .. ” (HR. Bukhari)
Tahapan kedua : Ketika tiba di Madinah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Ahlul Kitab melakukan puasa ‘Asyura lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk ikut berpuasaSahabat Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma berkata, “Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai dan tinggal di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi melaksanakan puasa hari ‘Asyura’ lalu beliau bertanya: ‘Kenapa kalian mengerjakan ini?’ Mereka menjawab : ‘Ini adalah hari kemenangan, hari ketika Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka lalu Nabi Musa ‘Alaihissalam menjadikannya sebagai hari berpuasa’ Maka beliau bersabda : ‘Aku lebih berhak dari kalian terhadap Musa’. Lalu beliau memerintahkan (sahabatnya) untuk berpuasa.” (HR. Bukhari) Dan dalam riwayat Imam Muslim, mereka menjawab : “Hari ini adalah hari yang agung, hari ketika Allah memenangkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun serta kaumnya. Karena itu Musa puasa setiap hari itu untuk menyatakan syukur, maka kami pun melakukannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kami lebih berhak dan lebih pantas untuk memuliakan Musa daripada kalian.

Tahapan ketiga : Ketika diwajibkannya puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk berpuasa ‘Asyura dan tidak terlalu menekankannya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan sahabat Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, dia berkata : “Dahulu hari Asyura adalah hari orang-orang jahiliyah pergunakan untuk puasa, tatkala turun bulan Ramadhan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang ingin berpuasa hari ‘Asyura hendaklah ia berpuasa dan bagi yang tidak ingin silahkan ia tinggalkan” ”
Tahapan keempat : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad  di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun diikuti dengan puasa pada hari lainnya. Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.

Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, dia berkata: “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyura’, beliau pun memerintahkan kami berpuasa pada hari itu. Para sahabat bertanya : ‘Wahai Rasulullah, bukanlah hari itu hari besar kaum Yahudi dan Nasrani?’ Beliau bersabda : ’Pada tahun depan, insya Allah, kita juga berpuasa pada hari (tanggal) kesembilan.’ Ibnu Abbas berkata : ‘Ternyata belum sampai tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.’” (HR. Muslim)
ANJURAN PUASA HARI ‘ASYURA’ ( 10 MUHARRAM ) DAN TASU’A ( 9 MUHARRAM )
Dari Ibnu ‘Abbas (Abdullah bin Abbas) radhiallahu’anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari ‘Asyura’ dan memerintahkan berpuasa pada hari itu. (Muttafaq ‘alaih)
Di dalam kitab Bahjatun Nadziriin Syarh Riyaadhish Shalihiin, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali hafidzohullah menjelaskan tentang beberapa kandungan dari hadits di atas :

·        Puasa hari ‘Asyura’ adalah puasa fardhu sebelum Ramadhan diwajibkan dalam Islam, sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan berpuasa pada hari ‘Asyura’. Setelah puasa Ramadhan difardhukan, maka berpuasalah orang yang mau berpuasa, dan berbukalah orang yang mau berbuka.” (HR. Bukhari - Muslim). Ketentuan ini diperteguh pula oleh perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan seruan di muka umum, sebagaimana diterangkan di dalam hadits Muhammad bin Saifa al-Anshari radhiallahu’anhu : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar kepada kami pada hari ‘Asyura’ lalu bersabda : ‘Apakah hari ini kamu berpuasa?’ Sebagian berkata : ‘Ya.’ Dan sebagian lainnya berkata : ‘Tidak.’ Maka beliau bersabda : ‘Sempurnakan puasa kalian pada hari ini.’ Selanjutnya beliau memerintahkan agar mereka menyerukan kepada penduduk di desa-desa Madinah supaya menyempurnakan puasa pada hari itu.” (HR. An-Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan yang lainnya dengan sanad shahih)
Ketentuan tersebut diperkuat lagi oleh hadits yang disepakati keshahihannya oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Salamah bin al-Akwa’ radhiallahu’anhu, berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki dari Aslam untuk berseru di tengah-tengah orang banyak: ‘Barang siapa yang sudah makan, hendaklah dia berpuasa pada sisa harinya. Barang siapa yang belum makan, hendaklah dia berpuasa karena sesungguhnya hari ini hari ‘Asyura’.’”
·         Kemudian hukum wajib berpuasa pada hari ‘Asyura’ dihapus setelah datang perintah wajib berpuasa pada bulan Ramadhan, sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu, ia berkata : “Setelah puasa Ramadhan difardhukan, maka puasa ‘Asyura’ ditinggalkan.” (HR. Muslim) (yakni setelah turunnya ayat “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa,” QS. Al Baqarah 183 -pen pada tahun kedua Hijriah)
·         Hadits ini menunjukkan bahwa hukum wajib puasa hari ‘Asyura’ telah mansukh dan diganti hukumnya dengan sunnah, berdasarkan hadits ‘Aisyah yang lalu : “Setelah puasa Ramadhan difardhukan, maka berpuasalah orang yang mau berpuasa (hari ‘Asyura’) dan berbukalah orang yang mau berbuka.” Kesimpulannya, puasanya tetap, tetapi hukum wajibnya dihapus. Wallahu a’lam

Disunnahkan berpuasa pada hari ‘Asyura’ karena bisa menghapuskan dosa setahun yang lalu, sebagaimana yang tercantum di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan sahabat Abu Qatadah radhiallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari ‘Asyura’. Maka beliau menjawab : “Ia dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu.” Dan juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat  mengistimewakan puasa hari ‘Asyura, seperti yang termaktub dalam Kitab Shahih Bukhari dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma, dia berkata : “Tidak pernah aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja berpuasa pada suatu hari yang beliau istimewakan dibanding hari-hari lainnya kecuali hari ‘Asyura’ dan bulan ini, yaitu bulan Ramadhan”

Selain puasa hari ‘Asyura’ (10 Muharram) disunnahkan pula puasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu’a), berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan sahabat Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seandainya aku masih hidup tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Muharram)”.
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali menjelaskan bahwa disunnahkan berpuasa dua hari, yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram, guna menyelisihi kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani. Sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma yang telah berlalu (di atas).
Ada sebagian yang berpendapat bahwa dianjurkan puasa pada tanggal 11 (Muharram). Namun hadits yang mengatakan tanggal 11 ini haditsnya dha’if (lemah, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah), diriwayatkan oleh imam Ibnu Khuzaimah tapi sanadnya dha’if. Karena ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin Abdurrahman Ibnu Abi Laila, seorang yang jelek hafalannya (Sayyi-ul Hifdz).

        Sekiranya penulis memohon kepada Allah Tabaroka Wa Ta’ala agar tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca yang dirahmati Allah. Yang haq datangnya dari Allah dan yang salah murni dari keterbatasan ilmu penulis yang hanya manusia biasa ini. Wallahu A’lam. Semoga Allah mengampuni dosa kita dan diterima segala amal shalih kita, serta ditutup dengan Husnul Khatimah. Washollallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin.



Maraji’ :
- Syarh Riyadhus Shalihin oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah
- Bahjatun Nadziriin Syarh Riyaadhish Shalihiin oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali hafidzohullah
- Keutamaan Bulan Muharram dan Puasa Asyura oleh Syaikh Muhammad Shaleh Al-Munajid
-  dll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar